Ribuan kilo jarak yang kau tempuh.
Lewati rintangan, untuk aku anakmu.Ibu ku sayang masih terus berjalanWalau tapak kaki,,,penuh darah,,,penuh nanah.Seperti Udara kasih yang engkau berikan.Tak sanggup ku membalas,,,,Ibu
Seorang Ibu yang berkorban demi keluarga, apalagi anak-anaknya. Hujan badai, panas terik dihadapi. Batu dipecahkan, diangkat dari sungai, dipanggulnya ketepian. Demi melihat anaknya bisa sekolah secara layak seperti teman-temannya.
Sarwi namanya. Sosok Ibu yang tidak ada bandingnya bagiku. Bahkan kagumku melebihi semua pahlawan yang telah berjuang merebut kemerdekaan negeri ini. Kalo Kartini pahlawan bagi perempuan, Sarwi pahlawan buat kami. Putra-putrinya.
Ibu Sarwi menikah dengan Bapakku umur belasan waktu itu. Jaman dulu nikah muda memang bukan hal aneh. Perempuan banyak yang tidak sekolah, paling tinggi hanya mengenyam pendidikan SR (sekolah rakyat). Entah alasan ekonomi atau karna tidak ada sekolah lanjutan. Setelah itu dipingit, atau menunggu pemuda datang kerumah melamar.
Bapak seorang "modin" atau KaUr Kesra dengan gaji tanah "Bengkok" 1 hektare pertahun untuk dikelola. Hampir 24 jam habis waktu Bapak untuk melayani masyarakat. Mulai dari kematian, Mantenan, Kondangan, dll. Tak jarang, warga datang tengah malam untuk meminta bapakku men-Sholatkan kerabat yang meninggal dunia.
Karena ekonomi pas-pasan, Mau tak mau, Ibu harus membantu meringankan beban keluarga. Dulu beliau bekerja mengumpulkan kerikil di Bengawan Solo untuk dijual. Bekas "kapalan" tangannya menjadi saksi sejarah, pecahnya batu-batu sungai. Beliau adalah Pemecah Batu, yang diangkatnya sendiri dari dasar sampai ke tepian sungai.
Menurut cerita Ibuku, sebenarnya ayahnya (kakekku) seorang pedagang, yang cukup mapan. Kakekku punya sawah cukup luas. Namun sayang beliau wafat cepat, meninggalkan nenek dan 9 anaknya termasuk Ibuku. Cucu-cucunya hanya bisa mengenali batu nisannya, tanpa pernah melihat wajah beliau, meskipun dalam selembar kertas foto.
Sepeda Onthel Ibuku, lengkap dengan Bronjongnya |
Gambar disamping adalah sepeda Onthel tua lengkap dengan Caping dan "Bronjong"nya untuk mengangkut sayuran dan buah-buahan.
Setiap pagi, pukul 9 setelah pekerjaan rumah selesai dan menyiapkan sarapan anak-anaknya beliau baru berangkat ke Pasar Gemblek'an, Solo.
Dengan bronjong kosong, Ibu mengayuh Onthelnya menuju pasar yang berjarak kurang lebih 10 Km, untuk "kula'an" atau membeli buah dan sayuran yang akan dijualnya.
Setelah Bronjong penuh, buah dan sayuranpun di tawarkan dari rumah kerumah penduduk di sekitar Kecamatan Pasar Kliwon dan Semanggi. Sampai dagangannya habis terjual. Bahkan di Bulan Ramadhan pun beliau tidak pernah istirahat.
Meskipun demikian beliau tidak pernah mengeluh sedikitpun. Biasanya Ibu pulang sekitar jam 4 an, karena harus masak untuk makan sore/malam keluarga.
Beliau selalu menyisakan dagangannya untuk oleh-oleh putra-putrinya dirumah. Apalagi saya dan Mas Aan, kakakku. Setiap pulang "Ngarit" dan "Angon Wedus" selalu minta oleh-oleh dengan porsi lebih banyak. Maklum lah, sebagai anak laki-laki kami memang sedikit egois, ngak mau kalah dengan saudari lainnya. hehehe.
Memang kami, setiap pulang sekolah harus mengembala kambing di sawah dan mencari rumput untuk persediaan makan kambing kami dipagi hari. Kami punya kambing tidak banyak sih, hanya 8 ekor. Sebagian besar pemuda di Kampung mengembala kambing. Biasanya kami juga bermain layang-layang sembari menunggu kambing-kambing yang merumput. Kadang juga maen bola.
Oh iya, kami sekeluarga ada 6 orang. 2 kakak perempuanku, 1 kakak laki-laki, dan 2 adik perempuanku. Alhamdulillah kami sekeluarga bisa mengenyam pendidikan setingkat SLTA. Ngak kebayang juga bagaimana orang tuaku membiayai kami semua selama ini. Umur kami hanya berjarak 2-3 tahun. Artinya setiap anak lulus jenjang sekolahnya, adiknya juga. Berturut-turut sampai adikku Atin lulus SMK.
Gali lobang, tutup lobang pun terpaksa dilakukan. Sayapun sudah ngak ingat, berapa kali sepeda motor Bapak gonta-ganti :).
Kakak dan adikku langsung bekerja setelah lulus. Hanya aku saja yang melanjutkan Kuliah. Mereka secara bergantian membayar uang semesteran dan biaya Kost ku di Bogor, ketika orang tuaku tidak punya cukup uang. Mereka dengan iklas menjalaninya selama aku kuliah di IPB.
September 2008 aku wisuda sarjana. Saya berfikir harus mandiri dan tidak menjadi beban dalam keluargaku. Oleh karena itu saya tetap tinggal di Bogor dan tidak lagi meminta uang kepada mereka setelah lulus.
Sekarang kondisi keluargapun sudah "lega". Semua kakakku sudah menikah dan punya rumah masing-masing. Bahkan Atin, adik perempuanku pun sudah menikah. Hanya tinggal Iis, si Bungsu yang belajar di SMK Negeri di Gading, Solo. Aku sekarang juga sudah bekerja di Jakarta.
Hingga detik ini Bu Sarwi masih kepasar dengan Bronjong-nya. Pernah kami meminta Ibu untuk berhenti bekerja dan istirahat dirumah saja, namun beliau menolak.
"Malah pegel kabeh le yen Ibu leren. Yo ben lah, alon-alon Ibu nang pasar ra kesusu. Wong sak omah wis do kerjo kabeh. Idep-idep dinggo hiburan" kata Ibu.
Ya sudah lah Bu kalo memang itu kehendakmu. Yang penting Ibu sehat selalu. Putra-putrimu selalu mendoakan agar Ibu selalu diberi kesehatan dan kebahagiaan.
Kami baru bisa mengucapkan terimakasih atas pengorbananmu selama ini. Sujud sembah kami memohon restu, agar kami menjadi anak-anak yang berbakti dan berguna bagi keluarga, masyarakat dan bangsa. Kami bangga sebagai anak yang keluar dari rahimmu.
Foto wisuda, september 2008. Kenangan, Berkat Bronjong, aku Sarjana :)
Ibu Sarwi, saat mendampingi Wisudaku |
Di Auditorium FPIK, IPB |
Sujud sembah dan kasih kami,
Putra-putrimu
Komentar
Posting Komentar