Malam di kota Chiang Mai, Thailand, sebuah tuk-tuk menunggu di depan lobi hotel. Si sopir bersiap mengantar saya ke pasar malam di tengah kota. Jam 06.30, waktu Chiang Mai, saya mencoba kendaraan tuk tuk khas kota itu. Bicara soal tuk-tuk, kendaraan ini mirip dengan bajaj dengan kapasitas lebih besar. Tempat duduknya terdiri dua baris, penumpang saling berhadapan. Satu baris bisa diduduki oleh 4-5 orang dewasa.
Di sepanjang jalan, tampak pedagang menjajakan aneka panganan khas tradisional Chiang Mai. Tak lama, saya pun sampai ketujuan yakni pasar malam yang dipenuhi gemerlap lampu. Pintu gerbangnya bertuliskan kalimat “Bon Voyage” kata dalam bahasa Prancis.
Di masa lalu, Chiang Mai pernah dijajah oleh bangsa Perancis, sehingga kota itu memiliki kedekatan dalam bahasa. Pasar malam ini buka dari jam 07.00 petang hingga jam 11.00 malam. Lokasinya, dikelilingi gedung-gedung perkantoran dengan arsitektur klasik dan modern yang megah.
Pasar malam ini sangat bersih, tak terlihat tumpukan sampah. Tidak seperti pasar-pasar di Jakarta, yang kotor dan becek. Kios-kios dan warung tertata rapi membentuk barisan, berjajar memanjang. Saya leluasa berjalan dan melihat-lihat barang dagangan yang dijajakan penjual.
Saya melihat gemerlap lampu kecil-kecil menghias kios-kios yang berjajar. Pohon-pohon juga dihiasi lampu-lampu kecil, kerlap-kerlip mirip pohon natal. Suasananya begitu meriah. Anak-anak kecil riang bermain dibawah pohon di sudut pasar. Banyak wisatawan lokal dan asing mengunjungi pasar malam ini. Ada yang sengaja mencari kerajinan tangan lokal, menikmati sajian kuliner, atau hanya sekedar memotret.
Saya lebih tertarik memotret dibanding berbelanja. Objek yang paling menarik bagi saya adalah seorang pelukis. Saya lihat, tangan kirinya memegang foto gadis kecil berpakaian tradisional yang lehernya memakai kalung berwarna kuning keemasan. Sepertinya bukan hanya hiasan semata, tapi untuk menyangga lehernya yang panjang. Si pelukis pun mencoretkan penanya di atas kanvas. Sketsa gadis itu hampir selesai, tinggal lingkaran dilehernya yang baru setengahnya digambar. Saya memotret seniman ini dari belakang secara diam-diam. Karena terlihat kalimat "Don't take picture" di meja kerjanya.
Di pasar malam ini segala jenis barang dan jasa dijual, mulai dari kebutuhan rumah tangga, aneka makanan, kerajinan tangan hingga pijat refleksi. Ketika pertama kali masuk pasar malam, saya langsung dihadapkan dengan barang-barang tradisional khas asal Negeri Gajah Putih, Thailand. Mulai dari kain-kain beraneka warna yang tertata rapi, serta pernak-pernik perhiasan dan aksesoris seperti gelang, tas, dompet, sandal, sepatu, dan kerajinan lainnya.
Semua barang bernuansa tradisional dan buatan tangan manusia tersedia. Saya teringat, ketika ada seorang penjual menawarkan gelang yang terbuat dari kulit. Si penjual mengatakan, gelang itu juga bisa dipakai untuk ikat pinggang. Saya sempat tertarik membelinya. Tapi tak jadi, rasanya tak cocok dengan ukuran tangan dan pinggang saya yang lebar ini. Apalagi, lebarnya gelang itu cuma 1 cm. “Ah, ada-ada aja tuh pedagang, “gumam saya di hati.
Komentar
Posting Komentar